٠١. عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْبَحْرِ
هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
أَخْرَجَهُ الْأَرْبَعَةُ وَابْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَاللَّفْظُ لَهُ وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ وَالتِّرْمِذِيُّ وَرَوَاهُ مَالِكٌ وَالشَّافِعِيُّ وَأَحْمَدُ
HADITS No. 1
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullôh Shallallôhu 'alaihi wa Sallam bersabda tentang (air) laut.
"Laut itu airnya suci dan mensucikan, bangkainya pun halal."
Dikeluarkan oleh Imam Empat dan Ibnu Syaibah. Lafadh hadis menurut riwayat Ibnu Syaibah dan dianggap shohih oleh Ibnu Khuzaimah dan Tirmidzi. Malik, Syafi'i dan Ahmad juga meriwayatkannya
MA'NA HADITS
Hadits ini merupakan salah satu asas bersuci yang mengandung banyak hukum dan kaedah penting. Didalam laut banyak terdapat hewan yang kadang kala ada yang mati, sedangkan hukum bangkainya itu adalah najis. Rasulullôh SAW memberitahu mereka bahwa hukum bangkai jenis ini berbeda dengan bangkai² yang lainnya, demikian itu agar mereka tidak mengira bahwa air laut menjadi najis karena ada bangkai hewan laut yang mati didalamnya dan bangkai hewan laut itu najis. Dapat disimpulkan bahwa hadits ini merupakan jawaban atas pertanyaan seorang sahabat yang bertanya dengan konteks seperti berikut: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami biasa menggunakan jalan laut dan kami hanya mampu membawa sedikit air tawar. Apabila air tawar yang kami bawa itu digunakan untuk berwudlu, niscaya kami akan kehausan, bolehkah kami berwudlu dengan menggunakan air laut?” Kemudian Rasulullah SAW memberikan penjelesan kepada mereka bahwa air laut itu suci juga mensucikan (dapat digunakan untuk bersuci). Nabi SAW menambahkan hukum lain yang tidak ditanyakan, padahal itu mestinya harus ditanyakan karena kedudukan hukumnya yang tersembunyi. Hal tersebut ialah bangkai hewan yang ada didalam laut adalah halal dan tidak perlu disembelih lagi.
FIQH HADITS
1. Orang yang tidak mengetahui suatu permasalahan hendaknya menanyakan kepada orang yang berilmu.
2. Dibolehkan menggunakan laut sebagai alat pengangkutan meskipun bukan untuk tujuan ibadah, karena si penanya sudah terbiasa menggunakan jalan laut untuk menangkap ikan.
3. Khawatir kehausan memperbolehkan tidak menggunakan air minum untuk bersuci karena adanya penetapan dari Rasulullôh SAW kepada si penanya untuk menjaga air minum dan tidak menggunakannya untuk bersuci.
4. Air laut itu suci juga mensucikan yang bisa menghilangkan hadats dan membersihkan najis atau kotoran.
5. Ikan tidak perlu disembelih kerana
syari'at telah menghalalkan bangkainya sama dengan hewan laut lainnya.
6. Halal memakan bangkai hewan laut yang hanya hidup didalamnya.
7. Dibolehkan menjawab lebih banyak daripada pertanyaan yang diajukan untuk menyempurnakan faedah dan untuk memberikan pengetahuan yang berkaitan dengan perkara yang tidak ditanyakan.
٠٢. وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إنَّ الْمَاءَ طَهُورٌ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ
أَخْرَجَهُ الثَّلَاثَةُ وَصَحَّحَهُ أَحْمَدُ
HADITS No. 02
Dari Abu Said Al-Khudry Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Sesungguhnya (hakekat) air adalah suci dan mensucikan, tak ada sesuatu pun yang menajiskannya."
Dikeluarkan oleh Imam Tiga dan dinilai shahih oleh Ahmad.
MA'NA HADITS
Air tidak menjadi najis karena ada sesuatu yang jatuh ke dalamnya. Hadits ini menceritakan kisah sumur Budlô'ah, yaitu sumur yang menjadi tempat pembuangan kain-kain bekas mengelap darah haidl, bangkai anjing, dan segala sesuatu yang berbau busuk. Ma'na yang dikehendaki disini ialah masyarakat biasa membuang benda-benda tersebut dari belakang rumah mereka. Sampah-sampah ini kemudian dibawa oleh banjir dan hanyut hingga sampai ke sumur Bulhô'ah tersebut kerana sumur itu terletak di dataran yang rendah. Airnya banyak sehingga ia tidak tercemar oleh benda-benda kotor tersebut. Para sahabat kemudian bertanya kepada Rasulullôh SAW mengenai kedudukan air Budlô'ah itu supaya mereka mengetahui hukumnya suci atau najis. Rasulullah SAW lalu menjawab bahwa air itu tidak ada sesuatupun yang membuatnya menjadi najis.
FIQH HADITS
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum air apabila tercampur najis, sedangkan salah satu sifatnya tidak ada yang berubah.
Imam Malik berpendapat bahawa air tersebut dapat mensucikan, baik adanya sedikit ataupun banyak, karena berdasarkan pada hadits ini dan beliau memutuskan tidak lagi suci apabila air tersebut sudah berubah salah satu sifatnya kerana najis itu.
Mazhab As-Syafi'i, Hanafi dan Hanbali berpendapat bahwa air itu terbagi pada air sedikit yang menjadi tercemar oleh najis secara mutlak (airnya menjadi najis) dan air banyak yang tidak terpengaruh oleh najis kecuali jika salah satu dari ketiga sifatnya berubah, yaitu warna, rasa atau baunya.
Akan tetapi, mereka pun masih berselisih pendapat mengenai batasan air sedikit dan air banyak itu.
Mazhab As-Syafi'i dan Madzhab Hanbali mengatakan bahwa air sedikit itu ialah air yang jumlahnya kurang dari dua qullah, sedangkan air banyak ialah air yang jumlahnya mencapai dua qullah atau lebih. Mereka berpendapat demikian kerana berpegang pada hadits yang menyatakan dua qullah, lalu mereka menjadikannya sebagai mukhassis (yang mengkhususkan) hadits yang berma'na mutlaq (umum) ini.
Madzhab Hanafi mengatakan bahwa air sedikit ialah air yang kurang dari 'asyrun fi 'asyrin, sedangkan air banyak ialah kebalikannya.
٣. وَعَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنَّ الْمَاءَ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ إلَّا مَا غَلَبَ عَلَى رِيحِهِ وَطَعْمِهِ وَلَوْنِهِ
أَخْرَجَهُ ابْنُ مَاجَهْ وَضَعَّفَهُ أَبُو حَاتِمٍ
وَلِلْبَيْهَقِيِّ الْمَاءُ طَهُورٌ إلَّا إنْ تَغَيَّرَ رِيحُهُ أَوْ طَعْمُهُ أَوْ لَوْنُهُ بِنَجَاسَةٍ تَحْدُثُ فِيهِ
HADITS No. 3
Dari Abu Umamah al-Bahili ra. bahwa Rasulullôh SAW pernah
bersabda: “Sesungguhnya tidak ada
suatu apapun yang dapat membuat
air itu menjadi najis kecuali dicemari oleh sesuatu yang menimbulkan perubahan pada bau, rasa, dan warnanya.” (Disebut oleh Ibn Majah dan dinilai dha'if oleh Abu Hatim)
Menurut riwayat al-Baihaqi: “Air itu suci dan mensucikan kecuali jika berubah baunya atau rasanya atau warnanya karena dicemari najis.”
MA'NA HADITS
Air yang banyak akan menjadi najis apabila dicemari oleh najis dan salah satu dari tiga sifatnya berubah. Apa yang dimaksudkan dengan sifat air ialah warna, rasa, dan baunya. Air dianggap suci dan mensucikan apabila najis yang jatuh ke dalamnya tidak merubah salah satu daripada sifatnya itu.
FIQH HADITS
Para ulama bersepakat bahwa air itu apabila kejatuhan najis sampai merubah salah satu daripada sifatnya, ya'ni warna, rasa, atau baunya, maka air itu menjadi najis.
٤. وَعَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ الْخَبَثَ وَفِي لَفْظٍ لَمْ يَنْجُسْ
أَخْرَجَهُ الْأَرْبَعَةُ وَصَحَّحَهُ ابْنُ خُزَيْمَةَ وَالْحَاكِمُ وَابْنُ حِبَّانَ
Dari Abdullôh Ibnu Umar Radliyallôhu 'anhu bahwa Rasulullôh Shallallôhu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Jika banyaknya air telah mencapai dua kullah maka ia tidak mengandung kotoran." Dalam suatu lafadz hadits: "Tidak najis".
Dikeluarkan oleh Imam Empat dan dinilai shahih oleh Ibnu Khuzaimah, Hakim, dan Ibnu Hibban.
MA'NA HADITS
Beberapa kali Rasulullôh SAW menjawab orang yang bertanya kepadanya dengan jawapan yang jelas dan tepat, supaya menjadi pelita yang dapat digunakan sebagai petunjuk untuk sepanjang masa. Ini termasuk sabda yang memisahkan antara perkara yang hak dan yang batil, dan merupakan tanda kenabiannya. Rasulullôh SAW pernah ditanya mengenai air yang ada di tengah padang pasir, yaitu pada dataran rendah dan tempat genangan air serta tempat yang selainnya. Air seperti itu biasanya tidak diketahui takaran dan jumlahnya, lalu Nabi SAW memberitahu bahwa air itu apabila jumlahnya mencapai dua kullah tidak membawa najis, ertinya tidak menerima najis, bahkan najis itu tidak mempengaruhi kesuciannya.
FIQH HADITS
1. Bekas jilatan binatang dan hewan buas kebanyakan tidak terlepas daripada najis, sebab biasanya hewan buas apabila datang ke kolam untuk meminum air, ia menceburkan diri ke dalam kolam tersebut, lalu kencing di dalamnya, bahkan terkadang tubuh hewan itu tidak terlepas dari campuran bekas kencing dan kotorannya.
2. Berdasarkan hadist ini, Imam As-Syafi'i dan Imam Ahmad membuat suatu ketetapan bahwa air banyak itu ialah air yang jumlahnya mencapai dua kullah dan tidak ada sesuatupun yang membuatnya menjadi najis selagi warna, bau atau rasanya tidak berubah.
٠٧. وَعَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَغْتَسِلُ بِفَضْلِ مَيْمُونَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا
أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ
HADITS No. 07
Dari Ibnu Abbas r.a: Bahwa Nabi Shallallôhu 'alaihi wa Sallam pernah mandi dari air sisa Maimunah r.a
Diriwayatkan oleh Imam Muslim.
وَلِأَصْحَابِ السُّنَنِ : اغْتَسَلَ بَعْضُ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي جَفْنَةٍ فَجَاءَ يَغْتَسِلُ مِنْهَا فَقَالَتْ : إنِّي كُنْت جُنُبًا فَقَالَ :
إنَّ الْمَاءَ لَا يَجْنُبُ
وَصَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ وَابْنُ خُزَيْمَةَ
Menurut para pengarang kitab Sunan:
Sebagian istri Nabi Shallallôhu 'alaihi wa Sallam mandi dalam satu tempat air, lalu Nabi datang hendak mandi dengan air itu, maka berkatalah istrinya: Sesungguhnya aku sedang junub. Nabi Shallallôhu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Sesungguhnya air itu tidak menjadi junub."
Hadis shahih menurut Tirmidzi dan Ibnu Khuzaimah.
MA'NA HADITS
Hadits ini mengandung ma'na bahwa seorang lelaki diperbolehkan bersuci dari sisa air yang telah digunakan oleh istrinya. Karena seorang lelaki diperbolehkan bersuci dari air sisa isterinya, maka secara qiyas seorang wanitapun diperbolehkan pula bersuci dari air sisa suaminya. Dalam dua hal tersebut, hukum air sisa itu adalah suci juga mensucikan, sebab air tersebut tidak junub (tidak najis). Oleh karena itu, Nabi SAW bersabda kepada isterinya: “Sesungguhnya air ini tidak junub (tidak najis)” untuk menetapkan dan mengukuhkan hukum kesucian air tersebut. Ini menunjukkan kemudahan agama Islam dan betapa mudah hukum untuk diamalkan.
FIQH HADITS
1. Lelaki diperbolehkan mandi dari sisa air yang telah digunakan oleh istrinya. Kemudian diqiyaskan kepada hal tersebut bahwa seorang wanita diperbolehkan mandi dari sisa air yang telah digunakan oleh suaminya.
2. Sisa air tersebut hukumnya suci lagi mensucikan, sebab airnya tidak junub (tidak najis).
3. Orang yang lebih utama diperbolehkan memakai bekas orang yang berada di bawahnya dan ini menjadi suatu ketentuan hukum.
4. Wajib mandi dari junub.
٠٨. وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
طُهُورُ إنَاءِ أَحَدِكُمْ إذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ
أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ وَفِي لَفْظٍ لَهُ فَلْيُرِقْهُ وَلِلتِّرْمِذِيِّ أُخْرَاهُنَّ أَوْ أُولَاهُنَّ
HADITS No. 08
Dari Abu Hurairah Radliyallôhu 'anhu bahwa Rasulullôh Shallallôhu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Sucinya tempat air seseorang diantara kamu jika dijilat anjing ialah dengan dicuci tujuh kali, yang pertamanya dicampur dengan debu tanah.
Dikeluarkan oleh Muslim. Dalam riwayat lain disebutkan: "Hendaklah ia membuang air itu." Menurut riwayat Tirmidzi: "Yang terakhir atau yang pertama (dicampur dengan debu tanah).
MA'NA HADITS
Rasulullah SAW banyak memiliki mu'jizat dan ini merupakan salah satu mu'jizatnya. Ilmu kedokteran modern telah membuktikan bahwa dalam ludah anjing terdapat bakteri-bakteri yang tidak dapat dimatikan melainkan hanya dengan tanah yang dicampur dengan air. Oleh karena itu, Syari'at yang bijaksana menyuruh supaya membuang sisa air yang telah diminum anjing, kemudian membasuh wadahnya sebanyak tujuh kali basuhan yang salah satu di antaranya dicampur dengan debu / tanah.
FIQH HADITS
1. Mulut anjing adalah najis, yaitu najis mughalladhah (najis berat). Semua anggota tubuhnya disamakan pula dengan mulutnya, menurut pendapat Jumhur Ulama. Sedangkan Imam Malik mengatakan bahwa anjing itu suci, membasuh bekas jilatannya sebanyak tujuh kali basuhan hanyalah merupakan perkara ta'abbudiyyah belaka. Menurutnya lagi, masalah mencampurkan salah satu basuhan dengan tanah itu tidak ada. Mencampurkan air dengan tanah ketika membasuh bekas jilatan anjing disebut istilah at-tatrib
2. Wajib membasuh bejana yang dijilat anjing sebanyak tujuh kali basuhan, salah satu di antaranya dicampur dengan tanah.
3. Wajib membuang sisa air yang diminum oleh anjing.
٠٩. وَعَنْ أَبِي قَتَادَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ - فِي الْهِرَّةِ - :
إنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ إنَّمَا هِيَ مِنْ الطَّوَّافِينَ عَلَيْكُمْ
أَخْرَجَهُ الْأَرْبَعَةُ وَصَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ وَابْنُ خُزَيْمَة
HADITS No. 9
Dari Abu Qotadah Radliyallaahu 'anhu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda -perihal kucing- "bahwa kucing itu tidaklah najis, ia adalah termasuk hewan berkeliaran di sekitarmu.
Diriwayatkan oleh Imam Empat dan dianggap shahih oleh Tirmidzi dan Ibnu Khuzaimah
MA'NA HADITS
Kucing tidak termasuk hewan yang najis tubuhnya, kerana 'illat darurat yaitu kucing sering kali berkeliaran dan keluar masuk rumah, sehingga sulit menjaga bejana, pakaian, dan lain-lain daripada ulah kucing itu. Oleh karena itu syariat menjadikannya sebagai hewan yang suci untuk menghindari kesulitan, di samping itu juga merupakan salah satu bentuk kasih sayang Allôh kepada hamba-hamba-Nya.
FIQH HADITS
1. Orang yang tidak mengetahui hukum suatu permasalahan dianjurkan untuk menanyakannya kepada orang yang 'alim.
2. Anjuran supaya berbelas kasihan kepada hewan.
3. Kucing adalah binatang yang suci, begitu pula dengan bekas jilatannya.
4. Jika terdapat najis pada mulut kucing, maka hukumnya najis karena adanya benda najis yang menempel pada anggota tubuhnya. Tetapi najisnya itu bersifat 'âridliyyah (anyar teka, mendatang) dan ia menjadi suci kembali apabila pergi meninggalkan tempat orang yang bersangkutan atau telah pergi beberapa saat sejak ia terkena najis.
١٠. وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ :
جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي طَائِفَةِ الْمَسْجِدِ فَزَجَرَهُ النَّاسُ فَنَهَاهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا قَضَى بَوْلَهُ أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَنُوبٍ مِنْ مَاءٍ فَأُهْرِيقَ عَلَيْهِ
مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
HADITS No. 10
Anas Ibnu Malik Radliyallôhu 'anhu berkata:
"Seorang Arab Badui datang kemudian kencing di suatu sudut masjid, maka orang-orang menghardiknya, lalu Nabi Shallallôhu 'alaihi wa Sallam melarang mereka. Ketika ia telah selesai kencing, Nabi Shallallôhu 'alaihi wa Sallam menyuruh untuk diambilkan setimba air lalu disiramkan di atas bekas kencing itu."
(Muttafaq Alaih)
MA'NA HADITS
Rasulullôh SAW diutus untuk menyayangi umat manusia, membimbing mereka pada akhlak yang mulia dan membantu orang bodoh apabila melakukan suatu kesalahan.
Para sahabat merasa gusar dan marah terhadap orang Arab badui yang kencing di dalam masjid, sedangkan dia baru masuk Islam. Rasulullôh SAW melarang mereka untuk menghardiknya. Sikap para sahabat yang mengagetkan itu bisa jadi menimbulkan madarat karena orang Arab badui itu apabila menghentikan kencingnya secara mendadak bisa menyebabkan pakaian dan badannya terkena najis dan najis pun akan menyebar ke tempat yang lain di dalam masjid. Keadaan ini tidak akan terjadi apabila orang Arab badui itu tidak menghentikan kencingnya secara tiba-tiba. Kemudian Nabi SAW memberikan petunjuk kepada mereka tentang bagaimana cara membersihkan tanah yang terkena najis, yaitu dengan menyiramkan air secukupnya. Nabi SAW apabila mengutus utusan keberbagai peloksok negeri, baginda Nabi senantiasa berpesan kepada mereka dengan sabdanya: “Berikanlah kemudahan dan janganlah kamu mempersulit urusan.”
FIQH HADITS
1. Dianjurkan untuk bersikap belas kasihan kepada orang yang bodoh dan memberikan pengajaran tentang apa yang harus dikerjakannya tanpa perlu menggunakan tindakan kasar selagi pelanggaran yang dilakukannya itu tidak bermaksud memandang remeh atau sebagai pembangkangan.
2. Masyarakat di perbolehkan memprotes orang yang melakukan pelanggaran di hadapan pemimpin mereka meskipun tanpa seizin dari pemimpin mereka.
3. Menolak perkara yang bisa menimbulkan madarat yang lebih besar di antara dua madarat dengan cara melakukan perkara yang lebih ringan madaratnya di antara dua madarat itu.
4. Air kencing manusia hukumnya najis.
5. Diwajibkan menghormati masjid dan membersihkannya dari berbagai kotoran dan najis. Ini telah disadari oleh para sahabat dan oleh karena itu, mereka segera menghardik lelaki badui itu.
6. Dianjurkan supaya segera menghilangkan perkara² yang bisa menimbulkan kerusakan dan bahaya selagi tidak ada halangan untuk melaksanakannya, karena Rasulullôh SAW telah menyuruh mereka supaya menuangkan satu timba air ke tempat bekas kencingnya setelah lelaki badui itu selesai kencing.
7. Tanah yang terkena najis menjadi suci apabila telah disiram dengan air, menurut jumhur ulama, namun menurut madzhab Hanafi, tanah yang terkena najis menjadi suci setelah tanah itu kering.
١١. وَعَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ. فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ : فَالْجَرَادُ وَالْحُوتُ وَأَمَّا الدَّمَانِ : فَالطِّحَالُ وَالْكَبِدُ أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَابْنُ مَاجَهْ وَفِيهِ ضَعْفٌ
HADITS No. 11
Dari Ibnu Umar Radliallôhu Anhuma, ia berkata, bahwa Rasululullôh SAW telah Bersabda:
"Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Dua macam bangkai itu adalah belalang dan ikan, sedangkan dua macam darah adalah limpa dan hati."
Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah, dan di dalam sanadnya ada kelemahan.
MA'NA HADIT
Allôh SAW telah mengharamkan bangkai melalui nash dalam al-Qur'an, tetapi
mengecualikan beberapa hal melalui lisan Rasul-Nya. Oleh karena itu, Allôh membolehkan kita memakan bangkai laut dan bangkai belalang, serta menghalalkan pula darah, yaitu limpa dan hati.
FIQH HADITS
1. Haram memakan bangkai kecuali bangkai belalang dan bangkai ikan, namun dalam masalah ini masih ada perselisihan pendapat. Imam Syafi'i dan Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa bangkai belalang halal dimakan dalam keadaaan apa saja sekalipun ditemukan dalam keandaan bangkai, baik mati dengan sendirinya ataupun mati disebabkan oleh perbuatan manusia. Imam Malik dan Imam Ahmad mengatakan bahwa bangkai belalang tidak halal dimakan kecuali belalang yang mati kerana perbuatan manusia, seperti sebagian anggota tubuhnya dipotong, direbus, dilempar ke dalam api dalam keadaan hidup, atau dipanggang. Jika belalang mati dengan sendirinya atau ditemukan dalam keadaan mati di suatu tempat, maka hukumnya haram dimakan. Adapun ikan, menurut madzhab jumhur Ulama, semuanya halal dimakan, baik mati karena perbuatan manusia atau karena hempasan ombak laut ke tepi pantai atau ikan itu sendiri yang melompat ke daratan lalu mati. Demikian pula haram dimakan ikan yang mengapung dalam keadaan mati, tetapi menurut Imam Syafi'i hukumnya halal dimakan.
2. Haram memakan darah, kecuali limpa dan hati maka ia halal dimakan.
Silahkan perhatikan baik² perbedaan antara Madzhab
Catatan penting: Hadits Dlo'if itu jauh lebih Mulia dibanding perkataan seseorang yang hafal Al-Qur'an dan ribuan kitab, krn Hadits itu semuanya Shahih dari Rasulullôh SAW yg menyebabkan Hadits itu dlo'if adalah dari perawinya yang mungkin tidak memenuhi syarat Hadits Shahih
١٢. وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِي شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ ثُمَّ لِيَنْزِعْهُ فَإِنَّ فِي أَحَدِ جَنَاحَيْهِ دَاءً وَفِي الْآخَرِ شِفَاءً
أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ وَأَبُو دَاوُد.
وَزَادَ وَإِنَّهُ يَتَّقِي بِجَنَاحِهِ الَّذِي فِيهِ الدَّاءُ
HADITS No. 12
Dari Abu Hurairah Radliyallôhu 'anhu bahwa Rasulullôh Shallallôhu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Apabila ada lalat jatuh ke dalam minuman seseorang di antara kamu maka tenggelamkanlah lalat itu kemudian keluarkanlah, sebab salah satu sayapnya ada penyakit dan pada sayap lainnya ada obat penawarnya."
Dikeluarkan oleh Bukhari dan Abu Dawud dengan tambahan:
"Dan hendaknya ia waspada dengan sayap yang ada penyakitnya."
MA'NA HADITS
Lalat memang binatang yang sangat mengganggu ketenangan manusia. Oleh karena itu, Rasulullah SAW memberitahu dan benar apa yang disabdakannya karena Nabi tidak pernah berbicara dari hawa nafsunya bahwa apabila ada lalat terjatuh selalu atas sayap yang sebelah kirinya, yaitu sayap yang mengandung penyakit. Obat dari penyakit ini termasuk sulit kecuali dengan cara menenggelamkan lalat tersebut agar menghasilkan faidah (obat) yang diharapkan dari sayap yang kedua yang sebelah kanan. Hal ini membuktikan Mu'jizat Nabi SAW, dan kebenarannya telah di akui oleh ilmu kedokteran modern melalui mikroskop.
FIQH HADITS
1. Boleh membunuh lalat apabila ia terjatuh ke dalam minuman atau makanan, yaitu dengan menenggelamkan sayapnya yang kedua yang di dalamnya mengandung ôbat penawar.
2. Apabila lalat mati dalam cairan, maka cairan itu tidak menjadi najis. Perintah Rasulullôh SAW supaya lalat tersebut ditenggelamkan (dibenamkan) ke dalam tempat makanan atau minuman menunjukkan lalat tersebut akan mati, apalagi jika makanan dalam keadaan panas. Ini juga menunjukkan bahwa bangkai hewan yang tidak ada darahnya itu tidak najis.
3. Ini merupakan Mu'jizat Nabi Muhammad SAW yang telah membuktikan adanya penyakit dan penawar pada kedua sayap lalat. Ilmu kedokteran moden mengakui kebenaran hikmah ini melalui mikroskop, bahwa pada sayap kiri lalat terdapat zat beracun yang tidak ada penawarnya kecuali dengan zat yang ada pada sayap sebelah kanan.
4. Berobat merupakan sesuatu yang dianjurkan, oleh karenanya, seseorang tidak dibenarkan membiarkan dirinya sakit dengan alasan tawakkal, bahkan dia hendaknya tetap berobat dan barulah bertawakkal kepada Alloh
١٣. وَعَنْ أَبِي وَاقِدٍ اللَّيْثِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مَا قُطِعَ مِنْ الْبَهِيمَةِ - وَهِيَ حَيَّةٌ - فَهُوَ مَيِّتٌ
أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُد وَالتِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ وَاللَّفْظُ لَهُ
HADITS No. 13
Dari Abu Waqid Al-Laitsi Radliyallâhu 'anhu bahwa Nabi Shallallâhu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Anggota yang terputus dari binatang yang masih hidup adalah termasuk bangkai."
Dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi dan beliau menyatakannya shahih. Lafadz hadits ini menurut Tirmidzi
MA'NA HADITS
Ketika Rasulullah SAW tiba di Madinah, terdapat masyarakat yang biasa memotong buntut kambing dan punuk unta untuk dimakan minyaknya dan lemaknya untuk dijadikan sebagai bahan bakar pelita. Melihat hal itu, Nabi SAW memberitahu mereka bahwa anggota tubuh binatang yang dipotong dalam keadaan hidup hukumnya sama dengan bangkai, yaitu tidak boleh dimakan, tidak boleh diambil manfaatnya untuk menyalakan pelita dan tidak boleh juga membelinya. Di samping itu, hal tersebut juga merupakan penyiksaan terhadap binatang, padahal Syari'at telah menyuruh kita supaya menyayanginya.
FIQH HADITS
1. Dilarang menyiksa binatang dengan memotong sebagian anggota tubuhnya.
2. Hukum mengenai anggota tubuh binatang yang dipotong, sedangkan binatang tersebut masih dalam keadaan hidup adalah haram dimakan dan haram pula memanfaatkannya.
3. Keputusan hukum bahwa anggota tubuh makhluk hidup yang dipotong adalah dikategorikan sebagai bangkai jika anggota tubuh tersebut masih berfungsi, sedangkan anggota tubuh yang sudah tidak berfungsi lagi (mati) tidak dianggap sebagai bangkai.